Senin, 27 Maret 2017

MANUSIA YADNYA DALAM NASKAH LONTAR RARE ANGON

MANUSIA YADNYA DALAM
 NASKAH LONTAR RARE ANGON

Oleh :
Putu Wisnu Saputra
ABSTRAK
Naskah lontar Rare Angon merupakan naskah-naskah karya sastra lama dalam bentuk tutur. Naskah-naskah karya sastra tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dalam tata cara melaksanakan manusia yadnya dalam hidup. Pengkajian naskah Rare Angon ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur naskah lontar Rare Angon dan kesatuan makna di dalam naskah lontar Rare Angon. 

Kajian ini menggunakan jenis kajian kualitatif, pengumpulan bahan kajian dilakukan melalui studi kepustakaan. Teknik pengkajian yang digunakan ialah teknik kualitatif, teori Struktural dan menggunakan pendekatan objektif.

Naskah lontar Rare Angon didalamnya mengandung tata cara merawat bayi dari janin hingga dewasa, yang secara jelas banyak menceritakan tentang konsep manusia yadnya, dimana dengan jelas telah diuraikan cara mengupacarai bayi dari baru lahir hingga dewasa. Konsep manusia yajna dalam Lontar Rare Angon memberikan tuntunan yang jelas mengenai upacara/upakara memelihara janin hingga bayi lahir kedunia.
Kata Kunci: Manusia Yadnya, Lontar Rare Angon.

PENDAHULUAN
Tattwa, Susila, dan Acara merupakan Tri Jnana Sandhi yaitu tiga kerangka dasar agama Hindu terintegrasi menjadi satu kesatuan yang utuh. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Hyang Widhi, sesama manusia, dan alam lingkungannya. Acara menjadi landasan perilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ini berarti, Acara mengimplentasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagaman yang lebih nyata. Acara (sanskerta: acara) memiliki pengertian: (1) perilaku, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu. Acara menurut Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 sebagai berikut;

Vedo khilo dharmamulam,
Smrtisile ca tadvidam,
Acarascaiwa sadhunam, atmanastutirewa ca.
Artinya:

Weda Sruti merupakan sumber utama dari dharma
(agama Hindu), kemudian Smerti, setelah itu Sila,
Acara dan Atmanastuti.

Acara adalah tradisi yang bersumber pada pustaka suci weda. Atmanastuti adalah rasa puas berdasarkan kesepakatan pemuka agama. Dengan demikian acara agama Hindu memiliki kedudukan yang jelas sebagai salah satu sumber pelaksanan ajaran agama Hindu. Acara mencakup bidang yang sangat luas, berkaitan dengan ritual terutama tentang: yajna sehari-hari suci keagamaan; tempat suci atau tempat pemujaan; dan orang suci. Kata acara sering diberi awalan Upa, menjadi upacara. Upacara berasal dari bahasa sanskerta, dari kata Upa berarti ‘hubungan’ dan Car berarti ‘gerak’ mendapatkan akhiran A menjadi kata kerja sehingga berarti ‘gerakan’. Jadi upacara adalah sesuatu yang berhubungan dengan tindakan pelaksanaan yajna.

Upacara mengandung makna sekitar tata cara pelaksanaan agama Hindu. Artinya, acara itu menyangkut hal-hal seperti: jenis upacara, tempat upacara, saat atau waktu upacara, rangkaian upacara, sarana atau alat upacara, dan lain-lain. Upacara yajna adalah upaya spiritual untuk mendekatkan diri kepada hyang widhi. Tiap upacara menggunakan sarana upacara yaitu upakara. Upakara berasal dari suku kata upa artinya ‘hubungan dengan’ dan kara artinya ‘pekerjaan tangan’. Jadi, upakara berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan tangan dalam pengelolaan materi seperti daun, kembang, buah, kayu, air, api. Di bali upakara dikenal dengan istilah banten dan di india disebut wedya. Banten terloihat rumit dan unik. Namun bila diteliti dengan seksama, banten mengandung arti simbolik dan filosofis yang tinggi, terpadu dengan seni rupa dan rias yang mengagumkan. Faktor ini memiliki arti penting karena dapat menuntun pikiran penuh rasa bahagia serta meningkatkan kemantapan perasaan saat mendekatkan diri dengan Hyang Widhi (Tim, 2014: 154).
Umat Hindu memahi upacara yajna sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kewajiban ini berdasarkan atas keyakinan bahwa Hyang Widhi menciptakan alam semesta beserta isinya, manusiadan makhluk hisup lainnya dengan yajna. Umat Hindu begitu banyak mempunyai referensi mengenai ajaran pelaksanaan yajna, mulai dari Dewa yajna hingga Bhuta yajna. Lontar Rare Angon merupakan salah satu landasan ajaran pelaksanaan yajna dalam umat Hindu khususnya membahas tentang Manusia yajna. Lontar Rare Angon secara terperinci membicarakan upacara dan upakara dari janin hingga dewasa. Hal tersebut sudah merupakan bukan hal yang tabu lagi dalam umat Hindu, namun yang menjadi tolok ukurnya adalah belum keseluruhan umat Hindu nusantara memahami dan melaksanakannya dengan maksimal, untuk itu dalam kajian ini, hendak memahami dan mendeskripsikan konsep manusia yajna dalam Lontar Rare Angon. 

METODE
Jenis kajian ini adalah kajian kualitatif, pengumpulan bahan kajian dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan. Pengkajian naskah lontar Rare Angon menggunakan teori Struktural yaitu, teori sastra yang digunakan menganalisis karya sastra berdasarkan pada strukturnya. Dalam teori Struktural, bagian yang dianalisis meliputi tema, latar, alur, tokoh dan sudut pandang. Tema merupakan gagasan utama cerita/kisah. Tokoh adalah pelaku cerita, istilah karakter menunjuk kepada perwatakan tokoh. Penokohan menunjukkan pada perwujudan dan pengembangan tokoh sebuah cerita. Sementara latar menunjuk kepada tempat terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra. Sudut pandang adalah titik pengisahan dalam karya sastra. Selain penggunaan teori, pengkajian naskah ini juga menggunakan pendekatan Objektif dalam memandang karya sastra. Pendekatan Objektif merupakan pendekatan yang memfokuskan perhatian pada karya sastra itu sendiri. (Mahsun, 2005).
Menurut Yoseph (1997: 37- 40) menjelaskan teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagai “artefak” (benda seni) maka realisi-realiasi structural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam relasi unsur-unsur artefak itu sendiri.Jika dicermati, sebuah teks sastra terdiri dari komponen-komponen seperti; ide, tema, amanat. latar, watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa.
Komponen-komponen tersebut memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra. strukturalisme sastra memberi keluasaan kepada peneliti sastra untuk menerapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikan. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen-komponen itu terserat dalam teks itu sendiri. Jadi teks satra berfungsi mengontrol objektifitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menetapkan teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan luas.         
Menurut Abrams dalam (Pradopo: 140-141) bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan (1) mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu, (3) pendekatan ekspresif yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair, (4) pendekatan obyektif yang menganggap karya sastra sebagai suatu otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang.

HASIL KAJIAN

A.    Teks Lontar Rare Angon
Tutur Rare Angon
Awighnamastu namah sidham.
Nihan ling nira tutur rare angon, kengetakne, nimitaning manusa padha, patemwan rare angon, rare cili, katatwaning pradhana purusa, tambyaning irare angwan matemu smara, metu tan kama petak, i rare cili metu kama bang, parok tang kama bang , lawan kama petak, umunggwa ring dhaleming kundha cucupu manik, sira sanghyang amrtha sabwana, asuta dhah rahining kulem, yata matangyan tang rare mungsang ring garbhawasaning ibu, awawarah i rare angwan munggwing aji, katatwaning irare: 1, bulan ring jro, nga, sanghyang manikkama gumuh, 2, lek, nga,.. sanghyang manikkamu bhusana, 3, lek, nga,.. sanghyang maniktiga warna, 4, lek, nga,.. sanghyang manik srigading. 5,lek. Nga,.. sanghyang manik kembang warna. 6, lek, nga, sanghyang manik kutthalengis, 7, lek, nga, sanghyang manik wimbasamaya, 8,lek nga, sanghyang waringin sungsang.  9, lek, nga, sanghyang tungtungbhuawana.  Mangkana katatwaning rare ring dalem, ling ning aji tatwa rare angwan.
Nihan ring wetuning rare, sanghyang kawaspadhana, duk sumalah ring pratiwi, nga., sanghyang prana bhanakosa. Duk tinegenasan harinya, nga., sanghyang naganglak. Duk hingadegaken, nga,. Sanghyang sarining dhuk sinuswan ika rare, sanghyang naghagombang, duk linekes, nga., sanghyang malengis. Duk sinuwukan ikang rare, nga., sanghyang tuturbhana. Duk ingembang, nga., sanghyang sarojo. Duk sumalah ring prastarana, nga., sanghyang windhusaka. Dhuk sinuswan, nga., sanghyang bhuta pranasakti, nga., duk dinulang-dulang sanghyang anantabhoga. Dhuk, sinambut nga., sanghyang kakarsana. Dhuk lumingling, nga., sanghyang menget. Dhuk, kumrab nga., sanghyang nagasesa. Duk bisa miri, nga., sanghyang bayumiri. Dhuk, bisa alungguh, nga., sanghyang gana. Dhuk wawu ngadeg, ngantem, nga., sanghyang tala. Dhuk wawu lumaku, nga., sanghyang bhutagelis. Dhuk bisa anambat bapa babu, nga., sang hyang tuturmenget. Duk wawu acacapet, nga., sanghyang ajalila. Duk bisa, sanghyang kumara. Dhuk wruhing sabda, mwang angucap nga., sanghyang sanghyang jatiwarna. Duk rumajaputra, nga., sanghyang twas. Dhuk wruh ring samadhi, wruh ring wedhya, nga., sanghyang mahawidhya. Mangkana katatwaning aji tatwa hampyal wadhi.
Yan sampun metuuh 3, lek ikang wwang ameteng, hana papalinya, tutugin parikrama, wenang mesakapan, istri kakung, kramanya maka sadhana, kang lang manuhuk lawe hireng, tinunggwan sang ning rabi. Mangawa galanggang buluh, manumbak roning kumbang winungkus mesi, iwak lwah, kang stri manuhun caraken, pinuja de sang pandittha, kang istri manguntal mirah apasang, mangkana kramanya, kunang tegesin upakara ika, beneng nga, beneng slem, nga., sla. Nuhuk, nga., tdah., numbak nga., ngembak. Galanggang buluh nga., nggang galang aluh. Nyuwun nga., kasungsung. Caraken, nga., paraken, nga., ajakan, apan tan sah i nama catur rumaket ring sarira, parang huma. Mirah teges ipun, nga., suteje, suteje nga., rupa, mangke tetep rupaning rare. Mangungkus kumbang mahisi iwak lwah, kumbang ng., mbang, ulam, nga., bedha. Mangdha sampu kebedha-bedha antuk i nama catur. Ring wetuning rare ring bwana agung, nga., sanghyang atmaja kawaspadhan, lingning aji rare angwan.
Nihan tegesin katatwaning ari-ari ika, pinaka sawa, karananing ari-ari ika kawangsuh den abresih, mabungkus antuk kasa madaging anget-anget, mawadah klapa, klapa mawak padma, raris mapendem ring luhuring amendem, medaging kembang wadhi, ring sandingnya  medaging baleman. Mwang sundar, sanggah, tegesne sundar pawaking angenan, sanggah pawaking prajapati. Baleman pawaking pengesengan sawa, ari-ari pawaking sawa. Lawasnya anggawe baleman, abulan pitunf dina, yan tan sangmangkana, tan side geseng sawa ika, mangkana katatwanya, lingning aji rare angwan.
Nihan pangupakara kepus pungsed, magawe pratiti mass, mwah minaluk pasikepan rare, makakambuh, nga., mawang ngupetri sanghyang kumara, pralingga luhuring rare aturu, mwang wangunen sanggar ring unggwaning ananem luhu, hungwan sato yoni, mangkana katatwanya, anglukat i nama catur sanak, manglebur malaning wetu, manglepas awon, nga., lingning aji rare angwan.
12, lemeng tuwuhing rare, hana pangupakaranya, tegesnya, amagehaken atma, pramananing rare, i nama catur sanak linukat, aganti haran, anggapati, mrajapati, banaspati, banaspatiraja, mangkana katatwanya, lingning aji tatwa kanda phat.
Ri sahulan piting dina tuuh ring rare, hana pangupakaranya, mangluwaraken kekambuh. Meganti sasikepaning rare, atmarasa phalanya. Kadhirgayusa phalanya, kaluputing lara wighna, ikang sanak, kinenan palukatan, mwang ibuning rare, linukat denabresih, mwang tinirtham, teges ipun ngalukat malaning ibunya, pecake ngawetwang mala, mangkana katatwaning linning aji tattwa dharma usada.
3, sasih tuuh ikang rare, hana upakaranya, tegesnya, ikang rare aminta nugraha ri bhatara siwaditya, tembenye anganggo bhusana, ratna kancanadi, mwang i nama sanak linukat, sareng rare ika, sahupakara i catur sanak magantos haran, i malipa, i malipi, i bapa bajang, i babu bajang, mangkana katatwanya, lingning aji tattwa jarayuhantra.
Ri sampun mayuse 16 tahun, hana upakaranya , nga., matatah, amotong huntu, teges ipun ninggalang malaning huntu, malaning carmma malaning rambut, mwah i nama catur sanak, kinenan palukatan, kaping rwaning pangupakara, amuja smara ratih, anamtama kayohanan, mangkana katatwanya, lingning aji tattwa jarayuntantra. 
   
B.    Ringkasan Cerita Lontar Rare Angon
Semoga tidak ada halangan,
Berikut perihal tattwa Rare Angon, ingatlah asal-usul adanya manusia, (karena adanya) pertemuan antara Rare Angon dengan Rare Cili yang merupakan hakikat Purusa-Pradana. Pada awal Rare Angon memadu asrama, maka keluarlah ‘Kama Petak’ (sperma) dan dari Irare Cili keluarlah ‘Kama Bang’ (sel telur ovarium). Bersatunya kama petak dan kama bang bertempat didalam rahim ia disebut Sang Hyang Amertha Sabhuwana. Mukanya menengadah ketika malam itulah sebabnya kepala sibayi berada dibawah ketika ada dalam rahim ibu. Berkatalah I Rare Angon tentang pengetahuan mengenai Rare Angon, satu bulan usianya dalam perut bernama Sang Hyang Manik Kama Gumuh; usia dua bulan bernama Sang Hyang Manik Kama Bhusana; usia tiga bulan bernama Sang Hyang Manik Tigawarna; usia empat bulan bernama Sang Hyang Manik Srigading; usia lima bulan bernama Sang Manik Kembang Warna; usia enam bulan bernama Sang Hyang Manik Khutalengis; usia tujuh bulan bernama Sang Hyang Manik Wimbasamaya; usia delapan bulan bernama Sang Hyang Waringin Sungsang; usia sembilan bulan bernama Sang Hyang Tuntun g Bhuana, demikian perihal bayi dalam rahim Ibu menurut Aji Tattwa Rare Angon.
Ketika sibayi baru lahir bernama Sang Hyang Kawasphadana. Ketika diletakkan ditanah bernama Sang Hyang Prana Bhuwanakosa. Ketika ari-arinya (tembuni) dipotong bernama Sang Hyang Naganglak. Ketika diberdirikan Sang Hyang Sari Ning namanya. Ketika disusui Sang Hyang Nagagombang namanya. Ketika mulai berjalan Sang Hyang Melengis namanya. Ketika diberikan sumuk (jimat) Sang Hyang Tutur Bhuwana namanya, ketika diletakkan di tempat duduk Sang Hyang Whindusaka namanya. Ketika disuapi Sang Hyang Ananthaboga namanya, ketika mulai mengambil atau memegang Sang Hyang Kakarsana namanya. Ketika mulai melihat-melihat Sang Hyang Menget namanya, ketika meraba-raba rambut Sang Hyang Naga Sesa namanya, ketika mulai cemburu Sang Hyang Bayumiri namanya, ketika bisa duduk Sang Hyang Gana namanya, ketika mulai berjalan Sang Hyang Bhuta Gelis namanya, ketika mulai menyebut Ayah dan Ibu Sang Hyang Tutur Menget Namanya. Ketika baru bisa bermain-main Sang Hyang Ajilila namanya. Ketika baru bisa memakai pakaian Sang Hyang Kumara namanya, ketika baru bisa berkata-kata Sang Hyang Jatiwarna namanya. Ketika menginjak remaja Sang Hyang Twas namanya, ketika mulai mempelajari sastra dan mengetahui sastra agama Sang Hyang Tattwajnana namanya, ketika bisa melakukan samadhi, mengetahui Weda Sang Hyang Mahawidya namanya.
Setelah kandungan berusia tiga bulan ada upacaranya, yaitu sebagai upacara lanjutan, yaitu upacara ‘mesakapan’ baik yang laki maupun yang perempuan. Tata pelaksanannya dimana yang laki mendorong (menusuk) benang hitam yang dijaga oleh istri, dengan membawa gelanggang buluh, menombang daun kumbang yang telah dibentuk bungkusan dan didalamnya diisi ikan sungai, yang perempuan menjunjung (nyuun), caraken dan dipujakan oleh pendeta, yang perempuan menelan ‘mirah’ sepasang.
Adapun makna dari upacara diatas adalah; benang artinya lurus; hitam artinya antara; mendorong artinya “tdah”, menombak artinya membuka; gelanggang buluh artinya terbuka jelas dengan mudah; nyuun artinya dijunjung caraken artinya abdi (membantu) sebab saudara 4 itu tidak dapat dipisahkan dalam tubuh manusia dan senantiasa melekat dalam badan senantiasa bersama-sama; mirah artinya suteja, suteja artinya wujud sehinga lengkaplah wujud sibayi sekarang. Membungkus dengan daun kumbang berisi ikan sungai bermakna; kumbang artinya kosong, ulam (ikan) artinya ganggu. Maksudnya taida lain adalah agar bayi tidak diganggu oleh saudara empatnya, dan setelah bayi lahir kedunia disebut Sang Hyang Atmaja Kawasphadan.
Berikut adalah arti hakikat ari-ari (tembuni) dimana ari-ari disimbolkan sebagai mayat, itu sebabnya ari-ari dicuci sampai bersih, dibungkus dengan kain kasa dan diisi dengan rempah-rempah, berwadah kelapa. Kelapa itu merupakan perwujudan padma, lalu dikubur. Setalah itu diatas kuburannya diisi bunga atau “wadi” disampingnya diisi “baleman” (bara api) dan lampu serta sanggah. Makna lampu itu adalah sebagai perwujudan “angenan” (pelita pada hati mayat). Sedangkan sanggah adalah perwujudan Prajapati. Baleman (bara api) adalah sebagai perwujudan alat pembakar mayat, lamanya membuat baleman adalah satu bulan tujuh hari (42 hari). Apabila tidak demikian, maka tidak akan berhasil membakar mayat itu. Demikian tattwanya menurut Tutur Rare Angon.
Berikut upacara “kepus pungsed” (lepasnya tali pusar), menentukan hari kelahiran sibayi, menggunakan jimat bayi disebut dengan “mekakambuh”upacar ini kembali menghadirkan Sang Hyang Kumara, diletakkan diatas sibayi dan didirikan sanggah ditempat mengubur ari-ari sebagai tempatnya “Sato Yoni”. Demikian perihal menyucikan saudara empat, melebur kekotoran kelahiran yang disebut “menglepas awon”. Setalah sibayi berumur 12 hari ada upakaranya, maknanya adalah untuk memperkokoh atma, jiwanya sibayi, saudara empat (kandapat) disucikan berganti nama menjadi Anggapati, Prajapati, Bhanaspati dan Bhanaspatiraja. Setelah bayi berumursatu bulan tujuh hari (42hari) ada upakaranya, membuang kekambuh mengganti jimat sibayi, fungsinya adalah untuk menjaga jiwa sibayi, agar panjang umur, terbebas dari sakit dan halangan. Anak itu diberikan penyucian dan ibunya disucikan sehingga menjadi bersih dan diberikan “tirta” maknanya adalah untuk menyucikan kekotoran ibunya karena bekas mengeluarkan kekotoran.
Setelah si bayi berumur tiga bulan (105hari) ada upakaranya yang maknanya bayi dimohonkan anugrah kepada Bhatara Siwaditya. Mula-mula sibayi dipakaikan busana permata, emas dll, kembali saudara empatnya disucikan bersama sibayi. Setelah diupacarai saudara empatnya berganti nama kembali I Malipa, I Malipi, I Bapa Bajang, dan I Babu Bajang. Setelah gigi si anak tanggal, saat itu pikiran sianak mulai dilekati oelh Satwan, Rajas, Tamas. Patut mulai belajar dan mulai melubangi telinga menurut paham siwa budha. Dan terakhir yaitu setalah anak berumur 16 tahun ada upakara yang disebut “metatah” yaitu untuk membersihkan segala kekotoran dalam diri dan melebur segala sifat buruk, sifat saudara empat.

C.    Analisis Struktural Lontar Rare Angon
1.    Analisis insiden
Berikut perihal tattwa Rare Angon, ingatlah asal-usul adanya manusia, (karena adanya) pertemuan antara Rare Angon dengan Rare Cili yang merupakan hakikat Purusa-Pradana. Pada awal Rare Angon memadu asrama, maka keluarlah ‘Kama Petak’ (sperma) dan dari Irare Cili keluarlah ‘Kama Bang’ (sel telur ovarium). Bersatunya kama petak dan kama bang bertempat didalam rahim ia disebut Sang Hyang Amertha Sabhuwana.
2.    Analisis tema
Tema yang dibicarakan didalam naskah transliterasi naskah Lontar Rare Angon ialah banyak menceritakan tentang konsep manusia yadnya, dimana dengan jelas telah diuraikan cara mengupacarai bayi dari baru lahir hingga dewasa. Konsep manusia yajna dalam Lontar Rare Angon memberikan tuntunan yang jelas mengenai upacara/upakara memelihara janin hingga bayi lahir kedunia. Hal ini menandakan bahwa umat Hindu begitu kaya dengan sastra-sastra yang tidak hanya mengatur tata susila dalam berperilaku dijagat maya ini.
3.    Analisis Tokoh
Tokoh dalam Lontar Rare Angon tiada lain ialah I Rare Angon dan I Rare Cili.
4.    Analisis alur
Alur adalah jalan cerita/rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir. Alur yang digunakan dalam naskah Lontar Rare Angon adalah alur maju, sebab cerita lontar menyajikan urutan yang dimulai dari tahap perkenalan menuju tahap penyelesaian secara sistematis dan tidak mengacak.
5.    Analisis anamat
Amanat/pesan yang tersirat dalam naskah lontar Rare Angon adalah tata cara merawat bayi dari baru lahir hingga dewasa dan tidak kalah pentingnya juga diuraikan tata cara pembersihan ari-ari (tembuni) diurah dengan sangat rinci.

D.    Kesatuan Makna Lontar Rare Angon
Manusia yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia mulai sejak terwujudnya badan jasmani didalam kandungan sampai pada akhir manusia itu sendiri. Pembersihan lahir batin manusia sangat perlu dilakukan semasa hidupnya, hal ini ditujukan agar manusia terbebas dari segala cuntaka dan kekotoran rohani demi mencapi jenjang hidup yang lebih baik lagi. Dengan bersihnya badan jasmani dan rohani manusia akan mampu berpikir jernih, berbicara yang baik, dan berbuat yang baik serta mampu memilah mana yang buruk dan mana yang tidak baik untuk dilakukan.
Lontar Rare Angon menjabarkan dengan sangat rinci pembersihan manusia dari dalam kandungan hingga lahirnya janin tersebut. Yaitu dari upacara bayi baru lahir, tata cara menguburkan ari-ari serta dibahas juga mengenai kelengkapan yang digunakan dalam upacara penguburan ari-ari sibayi, selanjutnya upacara kepus pungsed, setelah sibayi berumur 12 hari kembali diupacarai dengan makna memperkokoh atmanya dan menyucikan saudara empat si bayi. Setalah bayi berumur 42 hari adanya upacara membuang kambuh dan menggantinya dengan yang baru, ini mempunyai makna agar jiwa sibayi terlindungan dan jauh dari hal-hal negatif. Setelah bayi berumur 105 hari kembali diupacarai dengan tujuan memohon keselamatan dan anugrah pada Bhatara Siwaditya.

SIMPULAN
Upacara dan upakara dalam manusia yadnya ini menjadi hal yang sangat penting dan harus dilakukan oleh umat beragama khususnya Hindu. Manusia yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia mulai sejak terwujudnya badan jasmani didalam kandungan sampai pada akhir manusia itu sendiri. Pembersihan lahir batin manusia sangat perlu dilakukan semasa hidupnya, hal ini ditujukan agar manusia terbebas dari segala cuntaka dan kekotoran rohani demi mencapi jenjang hidup yang lebih baik lagi.

SARAN
Dari uraian diatas hendaknya kita generasi muda Hindu menyadari betapa pentingnya manusia yadnya dalam kehidupan didunia ini. Hal ini ditujukan agar manusia terbebas dari segala cuntaka dan kekotoran rohani demi mencapi jenjang hidup yang lebih baik lagi. Dengan bersihnya badan jasmani dan rohani manusia akan mampu berpikir jernih, berbicara yang baik, dan berbuat yang baik serta mampu memilah mana yang buruk dan mana yang tidak baik untuk dilakukan.

REFERENSI
Mahsun, M.S. 2005. Metodologi Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 

Tim Kerja. 2003. Alih Aksara Dan Terjemahan Tutur Rare Angon. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali & Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Tim Kerja. 2014. Swastikarana Pedoman Ajaran Hindu Dharma. Jakarta Barat:     PT. Mabhakti

Tuam,Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Nusa Indah

Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,
            dan Penerapannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar